Tired Smiley

Jumat, 02 Oktober 2015

Bab III
Hidupku merasa berarti
            Hari ini hidupku merasa berarti karna hatiku sudah tak sendiri lagi. Usai dia nembak aku dikantin aku diajak kesuatu tempat, tempat yang tak pernah aku kunjungi sebelumnya yaitu rumahnya. Hari dimana dia nembak aku, dia ngajak aku juga untuk bertemu dengan orang yang benar-benar berarti dalam hidupnya dia itu bundanya. Aku benar-benar gugup, kaget, dan tak bisa ngomong apa-apa. Hati ini berdegup benar-benar kencang karena aku bingung dengan apa yang dilakukan Afan hari ini.
            Setelah sampai didepan rumahnya, aku benar-benar bingung harus berbicara apa dengan bundanya nanti, aku bukan anak hukum yang pandai merangkai kata demi kata untuk membela orang yang benar. Tetapi posisiku saat ini adalah seperti orang yang akan ditangkap karna melakukan kesalahan yang mungkin tak bisa dimaafkan. Tangan ini benar-benar dingin, tapi Afan mengetahui sifat gugupku itu lalu berbisik “udaa jangan gugup bundaku udaa jinak kok, hehehe” sambil memegang tanganku yang dingin. Bercanda yang dilakukannya untukku tak membuat nervousku menjadi hilang, malah nervous yang tadinya biasa menjadi luar biasanya karna canda dia. Setelah memasuki rumahnya rasanya seperti ditanyai dengan dosen yang benar-benar kejam, galak dan super killer.
            Bundanya pun menyambut kedatangan anak tunggalnya itu, bagiku bundanya gak galak-galak amat malahan baik, kayaknya Afan udaa ngasih tau tentang kedatanganku hari ini. Bundanya pun langsung menebak namaku seperti sudah lama mengenal anaknya. Rasanya jantung ini tak mampu berdetak lagi akibat ulahnya tadi di kampus yang konyol dan sekarang ulahnya yang benar-benar bikin aku snewen. Lamalamalama aku berkenalan dengan bundanya bercerita dengan bundanya, ibunya menceritakan semua tentang aku yang diberitahu oleh Afan, karena Afan juga sudah banyak cerita ke bundanya soal aku.
Setelah menceritakan semua apa yang diceritakan Afan, bundanya bertanya hal yang benar-benar tak ingin ku bahas, karena memang sedikit memalukan untuk dibagikan “gimana dengan kedekatanmu dengan keluargamu ?”  dan kalian tau apa yang aku jawab hanya dengan diam membisu, aku bingung untuk menjawab semua pertanyaan yang diberikan bundanya Afan kepadaku. Apakah harus aku menjawab jika aku tak sebegitu dekat dengan ayahku dan adikku dan apakah aku harus bilang juga jika ibuku meninggal waktu melahirkan adikku, aku benar-benar bingung bagaimana menjawabnya L.
            Sebelum aku menjawab semua pertanyaan bundanya, aku sempatkan diri untuk melihat ke arah Afan, dia seperti memberiku kekuatan untuk bisa menjawab semua pertanyaan bundanya. Dan setelah aku menjawab dengan senyumku, akupun memberanikan diri untuk menjawab pertanyaan bundanya Afan. “maaf tante mungkin tante akan menilaiku jelek karna tak dekat atau tak pernah akur dengan ayahku dan adikku, tetapi hanya dengan sikap jujurku ini aku akan lega. Aku tak dekat dengan ayahku karna ayahku lebih memberikan kasih sayangnya kepada adikku daripada aku, aku juga tak dekat dengan adikku karna aku berpikir karna dia ibuku meninggalkanku untuk selamanya dari 10th yang lalu” akhirnya aku berdiam diri. Aku berpikir jika ibunya Afan akan menolak hubunganku dengan Afan tetapi apa yang aku pikirkan itu salah, beliau mendekatiku lalu memelukku dengan kehangatan yang tak aku dapatkan dari 10th yang lalu. Aku saja hampir lupa dengan pelukan ibuku sendiri, begitu hangat ternyata. Afan yang semula sepikiran denganku pun juga kaget dengan apa yang dilakukan bundanya terhadapku.

            Setelah beliau melepaskan pelukannya dari tubuhku dia menasehatiku bahwa tak sepatutnya aku iri dengan adikku karna dari aku lahir aku telah mendapatkan kasih sayang dari ke-2 orang tuaku dengan utuh, tetapi adikku dia hanya mendapatkan kasih sayang dari ayahku dan harusnya dengan kepergian ibuku aku bisa memberikan atau menggantikan sosok seorang ibu dirumah karna dirumah hanya tertinggal aku dan ayahku yang bisa memberikan kasih sayang pada Liana. Mungkin aku merasa aneh dengan kata-kata ibunya kepadaku, tetapi secara tidak sadar aku menitihkan air mata ke pipiku. Secara tidak sadar pula Afan yang semula duduk dibelakang ibunya dia mendekatiku dan menghapus kesedihan dari mataku dengan tangannya (so sweet kan :p).